Bangsa Indonesia masih dihadapkan panda
kondisi sulit dalam krisis multidimensional. Tidak hanya kondisi ekonomi
yang belum beranjak pulih dari krisis, tetapi juga karakter dan
kepribadian bangsa ini semakin mengalami kemunduran. Hal ini terbukti
dari banyaknya kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih marak
dan belum ada trend mengalami penurunan bahkan cenderung
bertambah variasinya, misalnya terbongkarnya kasus Mafia Hukum dan Mafia
Anggaran. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa sangat buruknya
karakter kader-kader bangsa ini yang perlu segera diperbaiki.
Generasi muda penerus bangsa semakin
tidak mengenal bangsanya sendiri. Nilai kepedulian dan rasa cinta tanah
air mulai memudar dari sanubari masyarakat. Salah satu penyebabnya
adalah karena sistem pendidikan yang selama ini berjalan masih kurang
tepat dan masih kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pendidikan lebih difokuskan pada bidang akademiknya saja, sedangkan yang
menyangkut pendidikan moral spiritual belum menjadi fokus perhatian.
Hal tersebut sangat kontras dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
sejatinya merupakan bangsa yang memegang teguh adat ketimuran yang adi luhung yang berarti bahwa bangsa Indonesia mempunyai nilai spiritualisme yang tinggi.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
telah menegaskan kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
religius. Religiusitas merupakan unsur pokok dan dominan dalam membentuk
suatu kepribadian manusia, yaitu manusia yang berkarakter yang
mengarahkan dirinya pada suatu keadaan untuk lebih mengenal penciptanya.
Dengan mengenal Tuhan, maka manusia akan memiliki orientasi hidup yang
hakiki, yaitu melaksanakan ketaatan atas ajaran Tuhan dan menjauhi
segala larangan-Nya, atau yang kerap kali didefinisikan sebagai
ketaqwaan.
Melihat banyaknya krisis moral yang ada
saat ini tentu adanya suatu pendidikan religi menjadi salah satu solusi
terbaik untuk menyelamatkan karakter generasi penerus bangsa ini.
Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, maka pendidikan
keagamaan dan akhlak dapat dimulai sejak usia dini. Pendidikan religi
yang anak usia dini dapat dilakukan secara informal melalui keluarga
maupun lingkungan sosial masyarakat, salah satu bentuknya adalah melalui
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ).
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) adalah unit pendidikan non-formal jenis keagamaan berbasis komunitas muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai materi utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang Indah, Bersih, Rapi, Nyaman, dan Menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis dari kata TAMAN yang dipergunakan. TPA/TPQ bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari. (Depag)
Melihat pengertian tersebut, maka peran
dan keberadaan TPA/TPQ berkesesuaian dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. (Prof. Dr. Suyanto, Ph. D, 2010)
Kesembilan pilar karakter tersebut dalam
terimplementasikan dalam proses kegiatan belajar mengajar (PKBM) di
Taman Pendidikan Al’Qur’an (TPA/TPQ). Pendidikan yang dilakukan di
TPA/TPQ merupakan pendidikan informal dan lebih dominan berorientasi
kepada aspek afektif-implementatif dibandingkan aspek kognitif.
Penagajar TPA/TPQ (ustadz/ustadzah) dalam menyampaikan materi (akhlaq,
BTAQ, syariah, dan sebagainya) sebisa mungkin dengan penuh pemahaman dan
kekeluargaan, jauh berbeda dengan pendidikan formal di sekolah yang
hanya menekankan ketuntasan standar nilai tertentu (KKM).
Pendidikan di TPA/TPQ lebih menekankan
pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual.
Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan pendampingan
yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah. Hal ini
diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi
yang disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah
diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Sistem pembelajaran ini
pun telah diadopsi di sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak
berdiri dan berkembang di tahun 2002an.
Melihat potensi kuantitas TPA/TPQ yang
jumlahnya hampir 100.000an si seluruh wilayah Indonesia, cukuplah
memegang peran sentral apabila mampu dioptimalkan sebagai basis
pendidikan karakter bangsa, terutama untuk pendidikan anak usia dini
(PAUD). Dengan revitalisasi, rekonstruksi dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM), TPA/TPQ akan mampu memberikan sumbangsihnya
demi perbaikan karakter generasi masa depan bangsa menuju yang lebih
baik. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah ikhtiar suci. ( Kompasiana - Ary Gunawan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar